Oleh : Esa Arif As
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, berdalih berarti mencari-cari alasan untuk membenarkan suatu perbuatan. Sering kita jumpai orang-orang yang biasa berdalih terhadap setiap tindakannya, tak terkecuali para petinggi di negeri ini yang mengumbar dalih, bahkan dalihnya tidak sahih dan justru menunjukkan ketidak pintarannya.
Berdalih barangkali telah menjadi naluri setiap insan, tetapi yang membedakan adalah kualitas dalihnya, apakah bermuara pada keilmuan dan kejujuran atau bersumbu pada kebohongan dan ketamakan kekuasaan. Celakanya dalam kehidupan sosial berbangsa dan bernegara kita, telah dikuasai oleh pendalih yang ulung, yang mampu menyamarkan antara dalih yang haq dan yang batil. Kondisi ini memaksa kita untuk menjadi individu yang cerdas, alim dalam hal dalih, sehingga dengan mudah mengidentifikasi arah dan tujuan sebuah dalih.
Maling yang kedapatan mencuri akan berdalih hanya meminjam. Tetapi yang perlu dipahami adalah motivasinya, latar belakang dan fakta-fakta tentang pencuri ini, sehingga kita tidak perlu mendengarkan dalihnya untuk mengetahui apakah ia mencuri atau hanya meminjam. Demikian juga dengan pejabat negara yang membuat kebijakan salah dan menyengsarakan rakyat, tetapi justru dalihnya untuk kesejahteraan rakyat. Maka rakyat perlu memandang dalih itu secara komprehensif dan dalam konteks yang ilmiah.
Di masa kejayaan Majapahit dibawah pimpinan Sri Rajasa Jayawardhana atau Raden Wijaya, Ronggolawe yang merupakan tokoh penting di balik berdirinya kerajaan terbesar di Nusantara ini, justru dibunuh oleh sahabatnya sendiri Kebo Anabrang atas perintah raja, dengan dalih putera Arya Wiraraja ini memberontak, padahal Ronggolawe pernah berperang bersama, berjuangan bersama dengan Raden Wijaya. Hingga saat ini dalih pembunuhan terhadap Ronggolawe ini masih sangat kontroversial dan debatable. Untuk menguliti kebenaran sejarah tentang dalih pemberontakan pahlawan bagi masyarakat Tuban ini, membutuhkan pisau analisa yang tajam, meminjam kata Feni Rose, setajam silet.
Demikian pula pada dalih konflik yang baru-baru ini terjadi di Indonesia yang melibatkan petinggi negara, ormas-ormas Islam, tokoh-tokoh kelas wahid di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja ini. Konflik ini telah mengahbiskan hampir seluruh energi bangsa dan mendapat sorotan dari bangsa lain, yakni kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Cahya Purnama atau Ahok. Dalam kasus ini kita bisa melihat dalih-dalih berserakan di lorong-lorong gelap pemikiran yang absurd, lantaran hukum telah bercampur politik dan dicemari isu sara, sehingga menjadi fenomena sosial yang serupa gado-gado. Pada teorinya, gado-gado yang dimakan dalam kondisi panas dan pedas akan menghasilkan keringat dan air mata di saat yang bersamaan.
Dalam konflik ini, sejak awal, seharusnya negara tampil perkasa dan bijaksana, berdiri di singgasana kemegahan wewenangnya yang kerajaannya melindungi setiap golongan, mengarahkan dalih-dalih yang liar agar berputar pada porosnya dan bersikap adil. Tetapi justru yang terjadi negara seolah tak punya kuasa, anak-anak bangsa seolah dibiarkan bertikai seperti tak punya ayah yang bisa menjadi juru damai. Bangsa ini telah babak belur dan mengalami luka cukup parah yang penyembuhannya membutuhkan waktu yang cukup panjang, sementara mereka yang mengadu domba dan dalang yang menciptakan konflik ini tertawa lepas. Kita telah kehilangan sosok pemimpin yang negarawan. Kenegarawanan kita permata yang hilang (Sam Abede Pareno, 2016).
72 tahun bangsa Indonesia merdeka dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan landasan Undang-Undang dasar 1945 dan Pancasila sebagai Ideologinya. Jika begitu, untuk apa bertikai lalu mencari dalih-dalih yang justru menggiring Peradaban Bangsa ini menuju kemunduran.
* Penulis adalah pemerhati sosial.