Oleh : Ridai
Sebagai seseorang yang pernah menghabiskan dua periode dalam dinamika ruang-ruang sidang anggaran, saya tidak terburu-buru menyimpulkan setiap keterlambatan sebagai kesalahan. Saya tahu, di balik angka-angka yang tertera dalam dokumen perencanaan, ada tahapan panjang yang tak selalu mudah dilalui. Ada rapat yang alot, dokumen yang belum lengkap, koordinasi yang tertunda, hingga kehati-hatian yang kadang berlarut.
Namun demikian, saya juga percaya: tak semua bisa diserahkan sepenuhnya pada alibi proses. Ada titik di mana publik berhak bertanya—dengan nada santun tapi tak bisa diabaikan: ke mana sebenarnya arah kapal ini sedang dibawa?
Pamekasan memasuki tahun 2025 dengan ritme yang pelan. APBD memang telah disahkan, secara hukum sudah siap dijalankan. Namun geliatnya belum terasa. Realisasi program belum tampak menonjol. Belanja pemerintah berjalan setengah langkah. Sementara pelayanan publik terus bertahan—berkat aparatur yang sudah terlatih untuk tetap bergerak, bahkan di tengah ruang fiskal yang beku.
Penjelasan yang berkembang terdengar bijak: ini masa transisi. Kepala daerah yang baru membutuhkan waktu untuk menata langkah. Tim transisi bekerja menyelaraskan program lama dengan visi baru. Proyeksi 100 hari kerja menjadi ruang penyesuaian. Dalam bahasa birokrasi, ini disebut harmonisasi kebijakan. Dan kita semua diajak memahami bahwa kesabaran adalah bagian dari partisipasi.
Saya tidak asing dengan fase semacam ini. Dalam pengalaman saya sebagai anggota Banggar DPRD, masa awal pemerintahan baru memang kerap dipenuhi kehati-hatian. Ada yang perlu dikaji ulang, ada yang perlu dipetakan kembali. Tapi saya juga tahu bahwa waktu dalam pengelolaan anggaran bukan sekadar kalender. Ia adalah sumber daya yang tak tergantikan. Terlambat memulai berarti mempersempit peluang. Dan dalam urusan anggaran, semakin pendek waktu pelaksanaan, semakin besar potensi efisiensi berubah menjadi inefisiensi.
Yang membuat saya tertegun bukan hanya jeda yang terlalu senyap, tapi juga senyapnya reaksi. Tidak satu pun anggota DPRD aktif yang bersuara lantang mempertanyakan perlunya percepatan. Mungkin karena mereka masih memberi ruang, atau mungkin sedang menyesuaikan diri dengan suasana baru. Tapi dalam dunia politik anggaran, diam sering kali berbicara lebih banyak daripada yang terdengar.
Dulu, dalam forum-forum Banggar, suara kritis terhadap keterlambatan adalah bagian dari dinamika sehat. Tak selalu tentang menolak, tapi sebagai pengingat agar semua pihak tetap di rel waktu. Karena rakyat tidak menagih program karena tahu tanggal. Mereka menagih karena merasakan kebutuhan.
Kini, ketika suara pengingat itu tidak terdengar, saya hanya bisa berharap bahwa diam bukan berarti lupa. Bahwa di balik senyap, ada kerja yang sedang berlangsung—meski belum terlihat dari luar pagar kantor.
Saya tidak hendak mengkritik siapa pun. Saya juga tahu, dari luar ruang sidang, banyak hal tampak lebih sederhana daripada kenyataannya. Tapi saya belajar satu hal penting selama menjadi wakil rakyat: realisasi anggaran bukan soal teknis semata. Ia adalah barometer kehadiran negara dalam kehidupan sehari-hari warganya.
Jalan rusak tidak bisa ditambal dengan retorika. Lampu jalan yang padam tidak menyala hanya dengan penyusunan visi. Dan pelayanan dasar tidak akan meningkat kalau masih menunggu transfer pusat yang belum pasti jadwalnya.
Alasan tentang belum cairnya dana dari pusat memang sering muncul setiap awal tahun. Itu benar. Tapi bukan seluruhnya. Karena dalam struktur APBD, ada belanja yang bisa digerakkan lebih awal, ada program prioritas yang tak harus menunggu, dan ada inisiatif yang hanya butuh kemauan kuat untuk mulai. Kunci dari semua itu adalah keberanian untuk bertindak di tengah ketidakpastian. Sesuatu yang dulu menjadi semangat kami di DPRD, meski tak semua berhasil kami selesaikan.
Kini saya menulis dari luar arena. Tidak lagi dengan hak bicara resmi, tidak pula dengan akses ke ruang keputusan. Tapi sebagai warga yang pernah ada di dalam, saya tetap merasa bertanggung jawab untuk menyampaikan kegelisahan ringan—bukan sebagai kritik, tapi sebagai pengingat.
Pamekasan tidak sedang krisis. Tapi jeda yang terlalu lama bisa mengikis kepercayaan. Dan bila publik sudah merasa tak dilibatkan secara emosional dalam perjalanan pembangunan, maka yang tersisa hanyalah angka dan laporan—bukan semangat.
Saya percaya tim yang kini bekerja di pemerintahan memiliki niat baik. Tapi saya juga percaya bahwa niat baik harus berpacu dengan waktu. Karena dalam pelayanan publik, kebaikan yang datang terlambat tak selalu dikenang sebagai kebaikan.
Mungkin tulisan ini akan dianggap sekadar catatan nostalgia dari mantan anggota DPRD yang belum sepenuhnya move on. Tapi saya menuliskannya dengan niat sederhana: agar ada yang tergerak. Agar ruang-ruang sidang yang dulu pernah ramai dengan tanya dan saran, kembali memiliki gema. Agar legislator kita hari ini tidak hanya menunggu, tapi mulai menyuarakan kepentingan publik dengan penuh keyakinan.
Karena dalam sistem anggaran, suara itu penting. Bukan untuk menekan, tapi untuk menjaga agar kapal ini tetap bergerak, dengan arah yang pasti, dan dengan waktu yang tak terbuang sia-sia.
*) Penulis adalah mantan anggota DPRD Pamekasan dua periode, periode 2014-2024.