Oleh: Suli Faris*
Dari beberapa sumber nampaknya BP-migas melalui rekanannya sungguh-sungguh akan melakukan eksplorasi migas di Kabupaten Pamekasan dan Madura pada umumnya. Eksplorasi ini tentu dilakukan setelah didahului dengan tahapan analisis dan survi kandungan minyak dan gas yang ada di perut bumi Madura.
Salah satunya pada beberapa tahun yang lalu telah dilakukan survei seismik dengan mengebor pada titik tertentu dengan kedalaman tertentu pula, lalu di dalam tanah yang dibor di pasang alat peledak kemudian tanahnya diambil untuk mengetahui kandungannya, baik yang berupa minyak dan gas atau kandungan kandungan yang lainnya. Saat ini, tentu kandungan minyak dan gas yang ada di perut bumi Madura pastinya telah diketahui, sehingga dilanjutkan pada tahapan eksplorasi.
Dalam UUD 1945 Pasal 33 dijelaskan, bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Nah, terkait hal itu masyarakat Madura tidak punya kapasitas untuk menolak eksplorasi migas tersebut karena hal itu merupakan otoritas pemerintah pusat. Namun demikian, bukan berarti masyarakat dan pemerintah daerah Kabupaten Pamekasan khususnya diam seribu bahasa.
Yang perlu di lakukan oleh pemerintah daerah paling tidak mengkaji apa yang akan didapat oleh pemerintah daerah dan apa pula kompensasi terhadap lingkungan dan masyarakat, karena kekayaan yang ada di dalam perut bumi Madura pasti ada ausnya, pasti ada masanya, apabia tidak habis dalam jangka waktu 50 tahun mungkin 70 tahun dan seterusnya. Bila kandungan minyak dan gas sudah habis mereka akan pulang dan masyarakat Madura hanya di sisain arang-arangnya.
Karena itu mumpung masih ada waktu, saya berharap perlu ada upaya yang serius dari pemerintah Kabupaten Pamekasan khususnya untuk berbicara dengan pemerintah pusat dan BP-migas terkait dengan bagi hasilnya dan berbagai onpensasi yang harus diberikan oleh pihak pengelola migas serta peluang apa saja yang bisa kelola oleh pemerintah daerah melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Memang, pada Pasal 19 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dijelaskan bahwa dana bagi hasil (DBH) minyak bumi sebesar 15,5 persen akan dibagi, dengan rincian, 3 persen dibagikan untuk provinsi, 6 persen untuk kabupaten/kota penghasil, 6 persen untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan, dan sisanya sebesar 0,5 persen dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar.
Dalam UU tersebut sudah dijelaskan secara detail tentang persentase bagi hasil migas antara pemegintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota dan daerah penghasil.
Namun demikian, bila kita cermati UU tersebut belum memenuhi prinsip-prinsip keadilan karena dari 15 persen keuntungan yang diterima oleh pemerintah pusat 90 persen untuk pemerintah pusat sedangkan 6 persen dikembalikan ke daerah dalam provinsi melalui program DBH Migas. Mengapa saya katakan UU tersebut belum memenuhi prinsip keadilan?, karena DBH untuk daerah penghasil sangat rendah.
Berbeda dengan DBH migas untuk Nangro Aceh Darus Salam yang menerima 70 persen dari 15 persen keuntungan. Padahal Nangro Aceh Darussalam itu hanya otonomi khusus (Otsus) yang berkaitan dengan penerapan Syariat Islam, sedangkan tata kelola hasil kekayaan alam khususnya migas tidak diotonomikan.
Untuk itu harapan saya pemeruntah kabupaten harus berupaya untuk mendapat bagi hasil yang lebih besar, serta kompensasi-kompensasi lainnya, baik di bidang ekonomi dan pendidikan, karena eksplorasi migas itu akan membawa dampak besar bagi tatanan kehidupan masyarakat Madura terutama di bidang sosial dan budaya.
*Penulis merupakan mantan anggota DPRD Pamekasan dari Partai Bulan Bintang (PBB) yang juga merupakan pedagang tembakau di Kabupaten Pamekasan.