Oleh : dr. Ratna Hermawati
Saya bukan atlet lari, hanya orang yang sedang suka berlari sejak satu tahun belakangan ini. Yang jelas saya tidak serta-merta suka lari. Saya mulai larinya telat, usia di atas 40 baru start lari. Sebelumnya saya aktif yoga dan bersepeda dan selalu menghindari lari.
Karena saya trauma, waktu SD dulu tiap kali olahraga lari perut saya sakit dan saya selalu jadi yang paling belakang. Saya tetapkan saya tidak cocok berlari.
Tapi ya kersaning Gusti Allah sekarang saya lumayan suka lari. Walau masih lambat, saking lambatnya saya lebih suka lari sendiri karena tak enak hati dengan partner lari.
Saya menikmati lari karena hasilnya adalah capek dan saya tidak punya waktu untuk overthinking. Selesai lari biasanya langsung mandi, minum banyak-banyak dan tidur. Kualitas tidur saya meningkat sejak rutin lari.
Ada pesan sponsor yang menanyakan : benarkah lari olahraga yang murah?
Jawaban saya : Benar. Karena saya berteman dengan beberapa pelari berkualitas, yang menguasai ilmu dan mampu berlari dengan pace cepat, tapi menggunakan alas lari lokal yang harga mentok di 500ribu. Bukti lain adalah pak Niman, pelari sepuh legend-nya Bintaro usia 91 tahun. Tanpa gear mahal, beliau setia berlari setiap hari. Just run.
Buat saya, lari itu yang mahal justru di suplemennya. Saya rutin mengkonsumsi vitamin D, asam omega 3, glucosamine, Glukosamin digunakan oleh tubuh untuk membuat zat kimia lain yang membangun tendon, ligamen, tulang rawan, dan cairan yang mengelilingi sendi. Sendi dilindungi oleh cairan dan tulang rawan di sekitarnya.
Mengonsumsi glukosamin dapat meningkatkan tulang rawan dan cairan di sekitar sendi dan/atau membantu mencegah kerusakannya, supaya persendian tidak terlalu kaku yang pada akhirnya membuat cedera. Tapi orang cenderung melupakan ini, mereka terlalu fokus pada alas kaki, atau sport watch, atau legging lari ( Tidak keren kalau belum 2XU, katanya begitu)
Sebagai tambahan untuk menghindari kram, saya biasanya pemanasan minimal 30 menit. Mulai dari pemanasan pasif kemudian pemanasan aktif. Saya juga tetap mengerjakan yoga, karena yoga membantu membuat toot-toot kaki saya tetap fleksibel sehingga kemungkinan cedera lebih kecil.
Begitulah, saya tidak ahli berlari. Tapi saya sudah menemukan manfaat dari rutin berlari, kualitas tidur meningkat, tidak overthinking, BAB lancar, ukuran baju tidak bertambah, kesadaran makan-makanan bergizi juga meningkat (saya harus jaga makan biar badan tetap enteng).
Semua ini tidak saya dapat secara otodidak. Di komunitas Indorunner Pamekasan ada atlet-atlet muda di bawah naungan PASI (Persatuan Atletik Seluruh Indonesia). Mereka inilah yang kita percaya menjadi pelatih strength setiap rabu malam, dan selalu siap sedia mengoreksi gerakan ataupun jadi partner lari. Iya, mereka mau menemani pelari lambat macam saya.
Jika saya merasa kramnya agak serius, saya konsul dokter ortho. Jika sendi lutut kiri mulai kumat radangnya, saya konsul anestesi untuk penanganan nyerinya. Mumpung punya teman dokter spesialis. Lagipula, masa temen sendiri engga dimanfaatkan?
Rugi dong.
Bagaimanapun, sesuka-sukanya saya dengan olahraga lari, saya harus tetap ingat bahwa badan saya ini masih ada rencana mau saya pakai sekitar 20-30 tahunan lagi. Jadi tidak bisa disuruh sama dengan yang usianya 20-an.
Lari di usia 40-an bukan lagi tentang seberapa cepat, tapi lebih ke seberapa awet kita berlari. Lari itu tentang mental, bagaimana caranya tetap bertahan di pace lambat karena ingin menghemat tenaga sampai akhir dan bukannya langsung ngebut di kilometer awal tapi jalan di kilometer akhir.
Lari itu juga tentang menghormati kemampuan masing-masing tubuh manusia yang tidak sama. Teman-teman saya yang larinya super cepat itu ngga pernah lho mengomentari performa lari saya. Yang sibuk komentar justru yang kurang atau bahkan ngga pernah lari.
Pokoknya sabar. Take your time. Lari itu buat diri sendiri bukan sekedar untuk dipajang di story medsos.
*) Penulis adalah dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD Dr H Slamet Martodirdjo Kabupaten Pamekasan.