Sampang, (Media Madura) – Konstelasi politik di Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur, terus menjadi perbinjangan hangat. Lagi-lagi, di dalam kontestasi pemilihan bupati dan wakil bupati yang berujung sengketa dan mengharuskan pemungutan suara ulang (PSU) setelah diputus oleh Mahkamah Konstitusi.
Masyarakat menilai, pelaksanaan coblos ulang ini bukti kurang seriusnya penyelenggara pemilu, dalam menciptakan pemilu yang berintegritas dan profesionalisme.
Buktinya, rekapitulasi hasil penghitungan suara Pilkada Sampang 2018 dianggap tidak sah, akibat tidak validnya jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Pengamat politik Sampang, Abdurahman, mengungkapkan terlalu ringan jika persoalan DPT ganda yang dibuat penyelenggara pemilu tidak ada sanksi hukum. Apalagi selama kontestasi politik dibiayai oleh uang rakyat yang bersumber dari APBD Sampang senilai Rp 35 miliar.
“Apa perlu penyelenggara ini kembali diuji kapasitas, integritas, dan profesionalitasnya, bukan diawal saja bersemangat membuat fakta integritas kepada pasangan calon bupati dan wakil bupati, manakala mereka tidak mampu menjalankan pemilihan secara jurdil harus ada sanksinya,” ujar pria kelahiran asal Karang Penang Sampang.
Menurut Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Negara Universitas Madura (Unira) itu, saat ini masyarakat khawatir terhadap penyelenggara pemilu yang akan melaksanakan coblos ulang, ditambah pemerintah daerah harus kembali membiayai dengan angka puluhan miliar.
“Apakah mungkin mereka dapat menjalankan amanah konstitusi ini dengan baik dan jurdil, demokrasi harus tetap berjalan sesuai dengan ruh kehendak publik, bukan kehendak segelintir orang,” tegasnya.
Pria akrab disapa Zaman ini menyakini dengan kondisi tersebut tingkat partisipasi pemilih bisa menurun saat coblos ulang Pilkada Sampang.
Menurut dia, salah satu faktor yang menyebabkan turunnya partisipasi karena masyarakat merasa sudah mencoblos pada 27 Juni lalu. Sehingga, masyarakat merasa jenuh dan tidak perlu mencoblos lagi.
“Penurunan partisipasi ini sudah menjadi risiko setiap melaksanakan pemungutan suara ulang (PSU), maka itu ini adalah kesalahan dan kurang seriusnya KPU maupun Bawaslu,” ungkapnya.
Sementara, Ketua Komisi I DPRD Sampang Aulia Rahman, juga turut menyoroti KPU. Dia menyampaikan adanya coblos ulang bentuk kelalaian dan kesalahan dari penyelenggara pemilu. Alasan itu bukan tanpa sebab, karena buntut coblos ulang berdampak terhadap data pemilihan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dalam Pileg 2019.
“Sudah jelas dan nyata, amar putusan MK dalam sidang sengketa Pilkada Sampang adalah soal jumlah DPT yang dianggap tidak valid, ini dampaknya luar biasa,” kata Aulia.
Karena itu, dirinya meminta KPU lebih berhati-hati mengambil keputusan apapun dan proaktif meneliti jumlah DPT di Sampang. Hal ini untuk suksesnya menyelenggarakan demokrasi.
“Kalau seperti inikan membuat kepercayaan publik pada KPU semakin berkurang,” jelasnya.
Menanggapi itu, Ketua KPU Sampang Syamsul Muarif mengklaim pihaknya sudah melaksanakan tugas pokok serta fungsinya sebagai lembaga penyelenggara pemilu. Mulai dari tahapan awal pembentukan panitia penyelenggara, pemutakhiran daftar pemilih, pencalonan, kampanye, hingga waktu pemungutan suara.
“Kami sudah melaksanakan tahapan dari awal sampai akhir, semua itu berbasis anggaran, kecuali tidak melaksanaknan kegiatan tapi anggaran habis itu salah, sebenarnya anggaran pelaksanaan Pilkada Sampang tidak habis kok masih sisa Rp 10 miliar, santai saja,” terang Syamsul Muarif.
Dirinya menerangkan, KPU Sampang wajib melaksanakan putusan MK terkait coblos ulang sesuai undang-undang. Untuk itu, saat ini pihaknya masih berkordinasi dengan KPU RI terkait jadwlal pelaksanaan PSU, mekanisme perbaikan DPT, dan anggaran.
“Soal menguji kapasitas penyelenggara pemilu itu kewenangan KPU Jatim, kita sudah melewatinya sejak awal pengangkatan KPU Sampang,” tuturnya.
Syamsul menambahkan, pihaknya terus berupaya semaksimal mungkin agar pelaksanaan coblos ulang bisa berjalan baik serta tingkat partispasi pemilih memenuhi target seperti sebelumnya.
“Kita dari awal komitmen mensukseskan Pilkada Sampang dan ini tergantung dari semua pihak, kalau ada pelanggaran diluar tekhnis menjadi tanggungjawab bersama,” imbuhnya.
Saat dikonfirmasi Ketua Bawaslu Sampang Insiyatun belum bisa memberikan keterangan. Namun beberapa waktu lalu, dia pernah menyatakan bahwa pelaksanaan coblos ulang Pilkada Sampang bukan kesalahan ataupun kelalaian pihak penyelenggara.
“MK menyatakan jika DPT Sampang tidak valid dan logis ini bukan karena kesalahan pihak penyelengara, itu karena MK mempunyai penilaian tersendiri, yang jelas kami telah melaksanakan tupoksi sesuai dengan undang-undang Pilkada dan Bawaslu,” tandasnya.
Diketahui, MK menyatakan dalam sidang sengketa Pilkada Sampang bahwa rekapitulasi hasil penghitungan suara dianggap tidak sah. Jumlah DPT pada pemilihan bupati dan wakil bupati tidak valid dan tidak logis. Hal ini berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, jumlah penduduk Kabupaten Sampang adalah sebanyak 844.872. Dari jumlah tersebut, Daftar Penduduk Potensial Pemilih (DP4) sejumlah 662.673.
Jumlah ini didasarkan pada penduduk yang memiliki hak pilih yang telah berusia lebih atau sama dengan 17 tahun maupun yang berusia kurang dari 17 tahun namun berstatus sudah menikah atua pernah menikah dan bukan anggota TNI/Polri.
Namun kenyataannya, KPU Kabupaten Sampang tidak menggunakan data dari Kemendagri melainkan menggunakan DPT yang digunakan saat pemilihan presiden dan wakil presiden 2014 yakni sebanyak 805.459 penduduk. Seiring perkembangan kependudukan, jumlah itu berkurang menjadi 803.449 penduduk.
Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Kabupaten Sampang sebanyak 844.872, jumlah DPT sebanyak 805.459 itu artinya mencapai 95 persen keseluruhan jumlah penduduk. Artinya, 95 persen penduduk yang terdaftar dalam DPT telah berusia dewasa. Menurut hakim, hal itu janggal dan diragukan validitasnya.
Jika merujuk dari data yang dikantongi KPU Kabupaten Sampang sebanyak 803.449 penduduk dengan yang dimiliki Kemendagri sebanyak 662.673 terdapat selisih kenaikan 140.826. Jumlah ini dianggap tak logis.
Reporter: Ryan Hariyanto
Editor: Zainol