Oleh : Dwi Budayana ED
*) Penulis Adalah Arsitek, tinggal di Kabupaten Pamekasan
Terbentuknya sebuah kota, khususnya di Indonesia, diawali oleh keberadaan kampung-kampung tradisional. Kampung, atau di beberapa tempat lainnya dikenal dengan nama dusun, dukuh/pedukuhan atau lingkungan, merupakan sebuah tatanan permukiman tradisional sebelum masuknya perencanaan permukiman modern.
Secara garis besar, ciri perkampungan di Indonesia terbagi tiga. Yang pertama adalah tempat bermukimnya masyarakat migran yang berasal dari satu wilayah tertentu, misalnya Kampung Pecinan, Kampung Arab, Kampung Jawa dan sebagainya. Yang kedua, tempat bermukimnya masyarakat yang memang sengaja dibentuk, biasanya oleh penguasa. Masyarakat penghuninya memiliki kesamaan karakter, pola hidup, pola pikir atau bisa juga kesamaan profesi dan mata pencaharian. Contohnya adalah Kampung Pabrik (karena sebagian besar penghuninya adalah pegawai sebuah pabrik), Kampung Abdi Dalem (Bangsawan) dan sebagainya. Yang ketiga, tempat bermukimnya masyarakat dari berbagai macam latar belakang, daerah asal, karakter dan profesi.
Eksistensi sebuah kampung sangat dipengaruhi oleh gerak kehidupan penghuninya. Semakin kuat penghuni memegang teguh filosofi dan kearifan lokal yang ada, maka kampung tersebut akan lebih memiliki brand. Pada fase berikutnya, kampung yang telah memiliki brand tersebut akan lebih dominan dalam mewarnai segala aspek kehidupan dan pola perkembangan sebuah kota.
Di Kota Pamekasan, salah satu kampung yang telah memiliki brand adalah Kampung Pangéranan. Kampung ini dikenal dan terkenal karena penghuninya mayoritas keturunan ningrat/bangsawan. Dengan kata lain, Kampung Pangéranan ini termasuk dalam kategori kampung yang dihuni oleh masyarakat dengan latar belakang, karakter dan pola pikir yang sama.
Secara administratif, Kampung Pangéranan termasuk dalam wilayah Kelurahan Barurambat Kota, Kecamatan Pamekasan atau tepatnya berada di sekitar Jl. Purba, Jl. Seruni, Jl. Jingga, Jl. Niaga, Jl. Kemuning dan Jl. Kamboja. Letaknya cukup strategis. Selain berjarak kurang dari 500 m menuju alun-alun, Kampung Pangéranan juga merupakan penyanggah dua jalan utama Kota Pamekasan, yaitu Jl. Trunojoyo dan Jl. Jokotole. Selain itu, wilayah Kampung Pangéranan dikelilingi oleh jalan lain yang merupakan jalur angkutan antar kota dan angkutan dalam kota.
Kampung Pangéranan tidak bisa dipisahkan dari sejarah terbentuknya Kabupaten Pamekasan. Konon, ketika menjadi Raja Pamekasan (1530-1616), Panembahan Ronggosukowati melakukan pembangunan infrastruktur secara besar-besaran guna mendukung jalannya pemerintahan sekaligus menjadikan Kota Pamekasan sebagai ibu kota kerajaan yang sejajar, bahkan melebihi kota kerajaan lainnya. Keraton, mesjid jamik, alun-alun, jalan, penjara, pasar, markas tentara dan kawasan perkantoran, merupakan beberapa infrastruktur fisik yang dibangun. Yang tidak kalah pentingnya, Panembahan Ronggosukowati juga melakukan pemetaan sekaligus membentuk kawasan permukiman, salah satu yang fenomenal adalah tempat tinggal untuk kaum ningrat beserta keluarga, termasuk pula pegawai-pegawai kerajaan. Kawasan permukiman ini selanjutnya diberi nama Kampung Pangéranan, kampung yang penduduknya adalah para “pangeran”.
Era kerajaan selesai, masuk masa kolonialisme, kemerdekaan dan orde baru. Secara turun temurun anak cucu raja dan pegawai kerajaan, tetap bertempat tinggal di Kampung Pangéranan. Bahkan beberapa mantan Bupati Pamekasan juga tercatat sebagai penduduk kampung ini. Maka bukan sesuatu yang aneh jika di awal nama masyarakat asli Kampung Pangéranan tersemat gelar R (Raden) dan sejenisnya.
Tahun 80-an hingga 90-an, aura ningrat dan keraton masih cukup kental di kampung ini. Meski berada di kota, penduduk Kampung Pangéranan tetap menjaga dan melestarikan apa yang diwariskan oleh pendahulunya, terutama perilaku kehidupan dan peninggalan fisik bangunan yang memiliki ciri khas tradisional.
Dalam hal perilaku kehidupan, banyak aspek positif yang bisa diambil dari masyarakat Kampung Pangéranan. Aspek positif itu dijaga secara turun temurun. Salah satunya adalah cara mereka berinteraksi, baik dengan masyarakat pendatang, dengan masyarakat kampung sekitar maupun interiksa sesama keluarga.
Ketika pada suatu masa datang orang-orang keturunan etnis Cina di Pamekasan, masyarakat Kampung Pangéranan menerima dengan tangan terbuka. Juga dengan masyarakat kampung sekitar, yang notabene adalah masyarakat dari kaum biasa, terjalin hubungan yang baik tanpa ada sekat dan pengecualian. Di dalam keluarga dan kerabat dekat, masyarakat Kampung Pangéranan masih memegang teguh adat dan filosofi kaum ningrat. Contoh sederhana adalah bahasa percakapan yang dipergunakan sehari- menggunakan bahasa pada level Éngghi-Enten dan Éngghi-Bhunten.
Lebih dari itu, masyarakat Kampung Pangéranan juga rela dan ikhlas “berbagi” wilayah, karena orang-orang keturunan etnis Cina pada perkembangannya membentuk sebuah lingkungan permukiman baru yang hingga saat ini dikenal dengan nama Kampung Pecinan. Lokasinya di sekitar Jalan Niaga.
Dalam hal peninggalan fisik bangunan, di Kampung Pangéranan terdapat banyak bangunan rumah tinggal yang masih asli, sebagai mana ketika dibangun oleh leluhurnya. Bahkan bisa dipastikan, selain jalan dan fasilitas umum, hampir seluruh wilayah Kampung Pangéranan “hanya” berisi rumah tinggal dan ruang terbuka yang cukup luas baik di halaman depan maupun halaman belakang. Rumah-rumah kuno/tradisional tersebut terawat dengan baik. Jika terpaksa harus dilakukan renovasi, maka tidak mengubah bentuk aslinya.
Di sisi lain, mayarakat Kampung Pangéranan tidak anti modernisasi. Sebagai kalangan yang lazim disebut dengan kaum darah biru, tentunya mereka telah berada pada posisi satu atau beberapa tingkat di atas masyarakat biasa. Secara otomatis, pola pikirnya juga lebih luas. Semisal masalah pendidikan. Untuk jenjang yang lebih tinggi dan lebih baik, masyarakat Kampung Pangéranan tidak pernah ragu untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke Pulau Jawa, bahkan ke luar negeri. Tidak sedikit di antara mereka yang sukses meniti karir dan bertempat tinggal di rantau.
Jelas, Kampung Pangéranan adalah aset berharga. Kampung ini juga sangat layak disebut kawasan warisan sejarah masa lalu (Heritage). Menurut Bimo Hernowo dalam artikelnya yang berjudul Mengapa Bangunan Heritage Sangat Penting Untuk Kota Kita?, kriteria dasar sebuah bangunan atau kawasan heritage setidaknya memiliki Nilai Estetik (eksterior maupun interiornya), Nilai Spiritual (memiliki posisi penting dalam suatu agama ataupun kepercayaan), Nilai Sosial, (mampu memberi ikatan dalam suatu komunitas dan menciptakan unsur landmark suatu tempat), Nilai Sejarah (mampu memberi bukti yang masiv tentang suatu peradaban manusia), Nilai Simbolis (mampu mewakili status sosial dari masyarakat tertentu) dan Nilai Otentik (bentuk asli interior dan eksterior bangunan heritage mewakili suatu keunikan). Kampung Pangéranan tentu sangat memenuhi kriteria-kriteria tersebut.
Status Kampung Pangéranan layak disebut sebagai kawasan heritage juga diperkuat dengan sudah seringnya beberapa lembaga, termasuk kalangan akademisi, yang tertarik melakukan penelitian di kampung ini. Obyek penelitiannya juga beragam, mulai dari pola permukiman, pola kehidupan masyarakat, keterkaitan dengan sejarah, pola fisik bangunan dan sebagainya.
Seiring perjalanan waktu, terutama memasuki era milenial, terjadi perubahan pada kondisi fisik kawasan Kampung Pangéranan. Perlahan tapi pasti, satu persatu rumah-rumah kuno berpindah tangan, yang selanjutnya beralih fungsi. Letak yang strategis, terutama untuk dijadikan kawasan bisnis dan perdagangan, ditambah lagi semakin sedikitnya ahli waris yang menempati karena sebagian besar sudah menetap di tempat lain, adalah faktor utama penyebab terjadinya perubahan. Banyak bangunan baru, menggeser bahkan menggantikan rumah-rumah kuno. Bangunan baru tersebut hampir semuanya adalah bangunan untuk kegiatan bisnis dan perdagangan. Rumah-rumah kuno kini berganti restoran, dealer, show room, rumah modern, kolam renang, toko, ruko, kafe dan sebagainya.
Penduduk Kampung Pangéranan juga mengalami perubahan komposisi. Dengan dibukanya tempat bisnis dan perdagangan, serta banyak latar belakang lainnya, semakin banyak masyarakat pendatang yang menetap di Kampung Pangéranan. Sementara itu, penduduk asli semakin sedikit. Maka semakin hari semakin dirasakan perubahan perilaku di kampung ini, dari yang sebelumnya sifat sosialnya tinggi menjadi masyarakat yang individual.
Saat ini, Kampung Pangéranan dengan segala nilai sejarah dan filosofinya, memang belum bisa dikatakan “habis”. Nafas dan denyut nadinya masih dan akan selalu mewarnai gerak perkembangan Kota Pamekasan. Rumah-rumah kuno/tradisional masih ada, meski makin sedikit. Perilaku kehidupan ala bangsawan juga masih ada dan dilestarikan oleh masyarakat asli yang masih menetap di Kampung Pangéranan. Namun jika dibiarkan, Kampung Pangéranan dan banyak lagi bangunan dan kawasan peninggalan sejarah yang lain di Kabupaten Pamekasan, akan lenyap sama sekali. Oleh karena itu, diperlukan sebuah aturan yang jelas dan tegas untuk melestarikan dan menjaga bangunan atau kawasan warisan sejarah masa lalu.
Sebagai referensi, sekarang semakin banyak kota-kota di Indonesia bahkan di dunia yang berusaha dengan serius, giat dan gencar melakukan kampanye perlindungan sekaligus pelestarian bangunan dan kawasan heritage. Alasan yang pasti adalah banyaknya sisi positif yang bisa diambil, diantaranya faktor ekonomi (wisata dan segala hal yang berhubungan), filosofi/nilai-nilai luhur dan filter sekaligus penyeimbang terhadap pesatnya modernisasi dan globalisasi.(*)