Oleh : Moh Faridi
Dalam beberapa tahun terakhir desa menjadi salah satu bahasan penting di republik ini lantaran adanya undang-undang desa nomor 6 tahun 2014, di mana desa dimanja dengan penambahan wewenang mengelola keuangan negara sebesar 10% dari APBN. Dengan adanya dana desa yang besarannya berbeda-beda tergantung dari geografis, jumlah penduduk dan angka kematian di desa, ditambah kewenangan merancang program dan membangun desanya masing-masing, membuat sebagian desa gagap dan watak asli para kepala desa mulai tampak.
Gagapnya desa dalam hal ini memang wajar terjadi, sebab sebelumnya desa tidak mempunyai anggaran khusus dan tiba-tiba mendapatkan dana yang jumlahnya sangat besar, apalagi dana tersebut langsung sampai kepada desa.
Tetapi pengelolaan dana tersebut bukan tanpa aturan, bukan tanpa pedoman, bukan tanpa konsekuensi, sebab sejumlah aturan dibuat agar pengelolaan dana desa ini sesuai dengan peruntukannya.
Dikeluarkannya Undang-Undang desa nomor 6 tahun 2014 diikuti oleh PP Nomor 43 tahun 2014 serta PP nomor 60 tahun 2014 tentang Dana Desa, kemudian menyusul Permendagri nomor 113 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa yang menyempurnakan Permendagri nomor 37 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa, bahkan mengenai BUMDes juga diatur dalam Permen Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi nomor 4 dan nomor 5 tahun 2015, seluruh aturan tersebut merupakan aturan main dalam pengelolaan dana rakyat ini.
Melihat aturan-aturan di atas sesungguhnya sudah jelas aturan dalam pengelolaan dana desa, tetapi tetap saja dalam pelaksanaan di lapangan terdapat hal-hal menyimpang yang dilakukan oleh oknum kepala desa, sehingga semua pihak harus ikut serta dalam pengawasan pengelolaan dana desa yang jumlahnya sangat besar.
Mengapa keterlibatan publik sangat penting dalam hal pengawasan terhadap pengelolaan dana desa?, dan mengapa meskipun diawasi masih saja terjadi penyimpangan dalam pengelolaan dana desa?. Untuk menjawab hal ini banyak faktor menjadi penyebabnya, selain karena tidak siapnya desa dan minimnya pengetahuan kepala dan perangkat desa dalam mengelola keuangan negara, juga karena prilaku buruk oknum kades yang sudah menjadi rahasia umum.
Pertama, dana desa ini merupakan uang negara yang bersumber dari pajak rakyat yang jumlahnya sangat besar. Seperti yang tertuang dalam Permendagri nomor 56 Tahun 2015 tentang Kode dan data wilayah administrasi pemerintahan disebutkan bahwa jumlah Desa dan kelurahan di Indonesia sebanyak 83.184 dengan rincian 74.754 Desa dan 8.430 Kelurahan. Jika 1 desa mendapatkan kucuran dana kurang lebih sebesar RP 1 miliar maka tinggal dikalikan jumlah desa di atas. Artinya jumlah dana yang dikucurkan negara sangatlah besar. Dana besar tersebut harus mendapatkan pengawalan, sementara tenaga pengawas dan pendamping yang direkrut pemerintah jumlahnya sangat terbatas dan kemampuannya juga terbatas sehingga menjadi penting melibatkan semua unsur masyarakat untuk bersama-sama mengawasi dana ini.
Kedua, masih adanya penyimpangan yang belakangan ini terjadi bahkan tidak sedikit kepala desa yang berurusan dengan penegak hukum, membuktikan bahwa efektivitas pengawasan tidak berjalan dengan maksimal. Selain itu, hal tersebut juga terjadi karena faktor watak dan perilaku buruk dari oknum kepala desa, sehingga meskipun pengawasan dan pendampingan sudah maksimal tetap saja ada celah dan lubang yang membuat oknum kepala desa memanfaatkan dana desa tidak sesuai dengan peruntukannnya.
Terlepas dari itu semua, rasanya tidak elok apabila seluruh kesalahan ditimpakan pada pemerintah desa di saat terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan. Sesungguhnya dalam Undang-Undang desa sudah jelas diatur, bahwa keterlibatan masyarakat sejak perencanaan sangat diharuskan, mengingat semangat program dana desa adalah mensejahtrakan masyarakat dengan cara masyarakat itu sendiri yang merumuskan solusinya (baca: Partisipation Action Reseact) sedangkan pemerintah hadir dalam bentuk pembiayaan dan produk-produk hukum.
Dalam hal ini sesungguhnya negara telah membuat payung hukum yang berlapis agar tujuan program ini tercapai, salah satu contohnya: untuk menindak lanjuti Undang-Undang desa nomor 6 tahun 2014, Kemendagri memperjelas dengan Permendagri nomor 114 tentang pembangun desa, bahwa perencanaan pembangunan desa harus melibatkan unsur masyarakat, antara lain: tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh perempuan, tokoh pemuda, dan tokoh-tokoh lainnya. Sejak perumusan Rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDes), rencana kerja pemerintahan desa (RKPDes), dan anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes).
RPJMDes akan menjadi acuan program selama 6tahun, sedangkan RKPdes merupakan turunan dari RPJMdes, yang jadi acuan rencana kerja selama satu tahun dan APBDes merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah desa.
Ketiga tahapan tersebut, perumusannya harus melibatkan keterwakilan masyarakat, sehingga akan memunculkan pemahamam bersama bahwa penggunaan dana desa sudah transparan, akuntabel dan partisipatif. Namun realitas di lapangan, banyak yang masih apatis terhadap perencanaan tersebut. Alih-alih memyumbangkan ide, hadir ke musyawarah-musyawarah desa kadang enggan, barulah saat ada masalah penyelewangan, banyak pihak yang tampil menyoroti dan menyalahkan. Dalam teorinya menyalahkan adalah hal paling mudah yang bisa dilakukan oleh sesorang.
Jika begitu, seharusnya sejak awal semua pihak haruslah terlibat, setidaknya mengingatkan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan perangkat desa, bahwa amanat Permendesa nomor 2 tahun 2015, menyatakan bahwa bulan pada bulan Juli sampai bulan September tahun berjalan, sudah masuk musyawarah desa penyusunan RKPdes, bulan Oktober sampai Desember memasuki musyawarah APBDes. Jika belum, mari kita hibahkan diri kita untuk bersama-sama mengawal perencanaan, pembanguan dan evaluasi desa.
Jika kita sebagai warga desa tidak melibatkan diri, niscaya akan banyak warga dari desa lain yang akan banyak mengambil peran di desa kita sendiri, semisal, banyaknya oknum yang mulai turun ke desa dengan meminta APBDes, laporan realisasi dan SPJ (Semacam institusi resmi yang diatur dalam undang-undang gitu..!!) ini merupakan indikator bahwa masyarakat di desa tersebut belum banyak terlibat dalam perencanaan pembangunan dan evaluasi. Sehingga dimanfaatkan oleh kalangan tertentu dengan niatan bukan lagi untuk mensejahterakan masyarakat.
Maka dari itu, marilah menjadi masyarakat desa yang cerdas dengan cara ikut merencanakan, membangun dan evaluasi sendiri desa kita masing-masing.
* Penulis adalah pendamping desa yang bertugas di Kecamatan Pademawu.