Sampang, (Media Madura) – Kirab budaya menampilkan kesenian dan tradisi daerah berlangsung dari Pebabaran Trunojoyo menuju Pendopo Bupati Sampang di Jalan Wijaya Kusuma, Kelurahan Gunung Sekar, Kota Sampang, Selasa (22/9/2020) siang.
Kegiatan dikemas dengan mengusung tema ‘Ter-ater Tajin Sappar’ artinya hantaran bubur di bulan safar ini bertujuan ingin mewujudkan nilai kebersamaan untuk berbagi.
Dalam iring-iringan kirab budaya tersebut seluruh peserta mengenakan pakaian khas Madura yakni Pessak dan Marlena. Peserta juga menampilkan tarian tradisional diiringi musik kesenian dengan menaiki kuda delman.
Acara tersebut diinisiasi oleh komunitas Madoera Tempo Doeloe. Kegiatan kirab budaya itu bukti nilai sejarah dari warga di Pulau Madura.
Setibanya di Pendopo Agung Trunojoyo Sampang, dentuman musik kesenian yang mengiringi mereka sontak terhenti.
Hal ini karena salah satu perwakilan rombongan peserta ingin menyampaikan ‘Parsemon’ alias sentilan atau pantun tradisi Madura.
Awal perbincangan dua orang inilah disebut Bhuka’ Bleber. Keduanya saling menjawab dan melempar pantun antara Ki Ageng H Daiman dan Santana neng Mandhapa Bupati (di Pendopo Bupati-Red).
Berikut isi pantun sejarah dengan bahasa Madura.
“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…” ucap pria yang konon disebut Kiai Ageng.
Lalu Sentana menjawab “Waalaikum salam Warahmatullahi Wabarakatuh”
Ki Ageng ” Ngala’ bheddhi e babana bhator, Ghangan cabbhi sareng ghula, Ngabidhi sadhajana pamator, Mogha ajunan mangghi’i kaula..”
Santana ” Ghângan kangkong jherruk jheppon, Pèrèng lontor ghângan marongghi, Mator sakalangkong rabuwèpon, Ngèrèng kaator paḍâ lèngghi ”
Ki Ageng ” Neng Bhânyosoka dhâlem perna, Bâlibis maḍumpa jhâghung, Ta’ nyangka é ḍâlem karna, Bisa nyabis ḍâ’ manḍhâpa agung ”
Santana ” Sènnam prabân arambhât ka tanpa, Tokang panḍhi aghârâp kasor, Paanabhân pajhât perna, Sè amonḍhi andhâp asor ”
Kia Ageng ” E pengghir daja ngobbhar sokon, Ngala peniti pas abhusana, Abdhina sadaja ngemban pakon, Mogha Pa’ Bupati kasokana ”
Santana ” Tamangmang perreng kater, Peniti eghambhar li baliyan, Jha’ mangmang jha’ kabeter, Pa’ Bupati jhember pangghaliyan ”
Usai lempar jawab Parsemon itu seluruh peserta diperkenankan memasuki Pendopo Bupati. Tak lupa pula, hantaran berisi bubur Sappar disuguhkan lengkap dengan makanan ciri khas lainnya.
Wakil Ketua Panitia Madoera Tempo Doeloe Bustomi di Sampang, menuturkan ada pesan kesan yang ingin disampaikan dalam kirab budaya Ter ater Tajin Sappar. Yakni agar saling menjaga memelihara dan melestarikan nilai sejarah Madura untuk anak cucu kita.
“Jadi pada zaman dulu ketika mau bertamu untuk mengungkapkan sesuatu itu tidak langsung, tapi menggunakan Parsemon atau pantun agar lebih halus dan menyentuh hati, ini perpaduan agama tradisi dan kearifan lokal,” ucap Bustomi, Selasa.
Kata Bustomi, sejak kerajaan Majapahit Tajin Sappar identik dengan warna merah putih. Hal ini tentu sama dengan simbol bendera kenegaraan Indonesia. Yang artinya warna merah ialah keberanian dan putih adalah kesucian.
Sementara Bupati Sampang H Slamet Junaidi menyampaikan, dalam kegiatan ini perlu akan pentingnya melestarikan nilai sejarah Madura khususnya di Sampang. Budaya Tajin Sappar tersebut menggambarkan tentang kebersamaan untuk berbagi antar sesama.
“Kedepan kita akan melestarikan apa yang menjadi budaya Madura khususnya di Sampang, kita angkat budaya seluruhnya agar tidak lupa dengan sejarah,” ujar Slamet Junaidi.
Selain itu, dirinya berencana mengusulkan nama pangeran Trunojoyo sebagai pahlawan nasional. Termasuk juga Kiai Kholil Bangkalan, Madura.
“Kami sudah mengusulkan itu dan berkoordinasi dengan Kemensos RI karena yang mempunyai wewenang adalah pemerintah pusat,” pungkasnya.
Reporter : Ryan
Editor: Zainol