Oleh : Esa Arif As
Dimemori kita, kata abrakadabra begitu lekat, saat mendengarnya, secara reflektif pikiran terarah pada dunia sulap, dimana disemesta mentalis, kalimat itu sering dilafalkan.
Dulu, Abrakadabra adalah kata sederhana tanpa makna, menjadi istimewa saat pengucapannya memuncaki sebuah atraksi seorang pesulap yang seolah menjadikan hal yang mustahil, jauh dari rasional menjadi mungkin, hingga semua yang melihat atraksi sulapnya terpukau.
Dari sanalah kemashuran Abrakadabra bermula, seolah memberi isyarat kepada kita bahwa ucapan dan tindakan haruslah seirama, ibarat dua sisi mata uang yang dekap, jika salah satunya terabaikan maka akan mereduksi keakbaran pesan yang ingin disampaikan. Pepatah lama mengatakan, jika pesan tidak sampai dengan sempurna, maka pasti kalah dalam perang, begitulah kira-kira gambarannya.
Saat ini dunia sulap sudah berevolusi, dimana seorang pesulap sudah jarang, bahkan tidak lagi menggunakan kalimat itu, tetapi menghidupkan idiom lain yang serumpun, serupa simsalabim yang substansinya sublim.
Kiasan di atas, seolah mengajarkan kita tentang dahsyatnya penyelarasan kata dan perbuatan, yang apabila disandingkan membuat sempurnanya wibawa, serta anggunnya pesona. Tetapi penyelarasan itu harus dilakukan pada orbitnya, dan pada ruang dan waktu yang tepat pula, jika tidak, akan menghasilkan nada sumbang yang tak seirama.
Nada yang tidak seirama itu membuat tidak nyaman dan jauh dari kata menyenangkan. Hal seperti itu terkadang dapat dilihat dalam prilaku kehidupan sosial masyarakat, tidak jarang pemimpin-pemimpin kitapun menunjukkannya, dimana terkadang mereka merendahkan dirinya dengan dipertegas oleh kata-kata mulya serupa Abrakadabra pada prilaku yang cela, dan terkadang pula memulyakan prilakunya yang dipertegas dengan kata-kata tak bersahaja.
Prilaku seperti itu menjadi bias makna, yang akan menumbuhkan banyak tanya. Apakah dia pemimpin yang baik, atau sebaliknya.
Semua orang pasti tahu bahwa hanya tuhan yang mampu menjawab pertanyaan tersebut, sebab pengetahuan manusia terbatas pada panca indranya, dan prilaku seperti itu telah melampauinya.
Tidak selesai pada absurditas itu, sebab dampak prilaku pemimpin yang tak seirama, tak se-iyaa se-kata dengan prilakunya, akan memancing gelombang ombak kebencian, yang akan terus menggerus dan menghancurkan tebing kepercayaan rakyat, pada siapapun yang benar-benar tulus mau menghibahkan kemampuan, kebaikan serta keilmuannya.
Kepunahan kepercayaan rakyat terhadap pemimpinnya akan segera tiba, jika tidak ada upaya yang radikal, instropektif, dilakukan secara holistik, dan menghentikan mesin industri kebohongan berupa janji-janji yang tak pernah ditepati, serta sajian bahasa-bahasa langit yang tidak pernah bisa dibumikan kepada rakyatnya.
Akumulasi dari absurditas, pertunjukan keangkuhan, kesombongan dan parade kebohongan, akan menjadi tembok pembatas tebal yang memisahkan antara pemimpin serta rakyat yang dipimpin, jika begitu, kebencian rakyat kepada pemimpinnya akan terus tumbuh subur laksana rumput di musim hujan. Memang, rakyat sampai hari ini masih menjadi pemilik sah atas kedaulatan Bangsa dan Negara, tetapi apalah artinya, sebab kini menjadi tidak penting dan terabaikan, justru seolah hanya menjadi komoditas politik yang bisa diperjual belikan serupa saham, di mana harganya disesuaikan dengan permintaan pasar, semakin tinggi kuantitasnya semikin tinggi tawarannya, dan semakin tinggi kualitasnya maka semakin murah, sebab rakyat yang cerdas dan bisa menyuarakan kebenaran bahkan menolak bentuk-bentuk ketidak adilan, cenderung sulit untuk dikendalikan serta diperjual belikan.
Korporasi yang berselingkuh dengan kekuasaan tidak mempunyai rambu-rambu yang jelas, tetapi menggilas, melindas tanda-tanda hukum, sosial, budaya bahkan agama, sebab semua itu berideologi pasar dan hasil menjadi tujuan.
Maka tidak jarang, pajabat pemerintahan daerah, di Wilayah Indonesia dikuasia dicengkram oleh korporasi, sebab telah disponsori sebelum memporoleh jabatannya dengan kompensasi potensi di wilayah itu sebagai jaminannya, padahal Konstitusi, mengamanatkan, bahwa sember daya alam dan pemanfaatannya digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.
Dalam realitas seperti itu, maka harus ada upaya, untuk merestorasi Ideologi Negara, Pancasila, Undang-undang Dasar 45, dan NKRI. Serta langkah untuk mengembalikan kedaulatan sepenuhnya kepada rakyat.
Mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti yang tertuang dalam pembukaan undang-undang Dasar 45, memang telah menjadi tugas Negara, tetapi itu tidak akan datang dengan sendirinya tanpa kita berusaha meraihnya.
Penulis, memang tidak alim dalam politik, juga tidah terlalu hafal rukun poltik, tetapi terkadang perlu mengambil jalan yang berbeda, untuk merubah caosnya moral bangsa, akibat pemusnahan peran, pembodohan terstruktur, massif dan terencana, atas nama kekuasaan.
Realitas seperti itu sungguh nyata, dan telah menghiasi setiap sendi kehidupan bernegara kita, bahkan ironisnya, banyak masyarakat yang saat ini sudah tidak lagi takut pada tuhan, tidak takut pada hukum, tidak takut untuk mati, tetapi lebih takut lapar. Dalam kondisi lapar, kanibalisme, perampasan hak dan peran, jual beli serta perebutan jabatan, semua menjadi niscaya. Itulah yang setiap saat bisa dinikmati, sebagai sajian berita dari berbagai media.
Dalam Hal ini, penulis tidak dalam upaya meyakinkan siapapun, hanya saja, akbarnya harapan akan kemajuan, kesejahteraan, mencerdaskan kehidupan bangsa serta meraih kembali kedaulatan rakyat, dibenturkan pada realitas yang jauh panggang dari api.
Maka sudah saatnya mencari kata serupa Abrakadabra, yang mungkin bisa membuat bangsa ini kembali menjadi macan Asia, bahkan dunia.dan bukan sebaliknya, ekakan macan (Dimakan Macan).
* Penulis adalah direktur mediamadura.com