Sumenep, (Media Madura) – Sisa piutang pajak bumi dan bangunan (PBB) di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur kini tembus Rp. 36 miliar. Piutang tersebut merupakan akumulasi sejak tahun 2002 sampai 2017.
“Ya, sampai tahun 2017 sisa piutang PBB kita Rp. 36.178.329.302, tapi ini berdasarkan potensi atau baku ya, bukan target PAD kita,” kata Kabid Pelayanan, Penagihan dan Pendaftaran Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Sumenep, Linda Mardianan.
Dijelaskan, hingga tahun 2017 saldo piutang PBB keseluruhan sebesar Rp. 38.282.718.021. Namun jumlah itu dikurangi realisasi sampai Desember 2017 sebesar Rp. 2.104.388.178.
“Potensi atau baku yang saya maksud adalah, piutang tersebut berdasarkan SPPT yang disebarkan ke masyarakat, jumlahnya sekutar 744 ribu wajib pajak,” jelasnya.
Linda mengakui, jika sisa utang PBB di Sumenep memang cukup besar, itu lantaran pemebekakan yang terus terjadi sejak pelimpahan dari KKP Pratama pada tahun 2014 lalu.
“Sejak tahun 2014 piutang kita memang semakin besar ya, pelimpahan dari KKP Pratama saat itu hanya sekitar Rp. 11 miliar, tapi sekarang sudah menjadi sekian miliar,” jelasnya.
Kata Linda, pihaknya memang menemui beberapa kendala berkaitan dengan penarikan pajak ini, diantaranya tingkat kesadaran masyarakat yang sangat rendah mengenai kewajiban membayar pajak.
“Tapi kami selalu berupaya memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa membayar pajak adalah kewajiban, kita juga sering sosialiasi bahkan jemput bola demi maksimalnya pajak,” paparnya.
Saat disinggung adanya pengaruh dari kebijakan PBB gratis beberapa tahun lalu sehingga masyarakat merasa tidak punya kewajiban membayar pajak PBB, Linda tidak menampik hal itu.Â
“(masih adakah pengaruh progran PBB gratis?), ya masih..masih ada, tapi tidak semuanya, sebagian besar masyarakat paham bahwa PBB wajib dibayar,” tandasnya.Â
Seperti diketahui, program PBB Gratis memang sempat diterapkan di Kabupaten Sumenep beberapa tahun lalu sebagai realisasi janji politik. Namun kebijakan tersebut berujung kontroversi, lantaran terindikasi melawan hukum.
Sebagai konsekuensi, kebijakan tersebut sudah terlanjur menjadi paradigma masyarakat, terutama masyarakat desa, bahwa PBB sudah digratiskan dan tifak perlu bayar. Alhasil, penarikan pajak dalam beberapa tahun terakhir sulit dimaksimalkan oleh pihak terkait.
Reporter : Rosy
Editor : Ist