Oleh : Nurani Soyomukti*)
Saya meyakini bahwa perempuan lebih hebat daripada laki-laki. Lebih kuat daripada laki-laki. Hanya saja, sistem sosio-budayalah yang membuat kaum perempuan terlemahkan, terpinggirkan, tersubordinasikan, dan bahkan terindas. Sistem sosial-budaya mengonstruksi budaya, cara pandang bahwa perempuan lemah. Bahwa perempuan tidak boleh berperan seperti laki-laki. Bahwa perempuan adalah pelayan laki-laki. Bahkan ada pandangan bahwa perempuan adalah sumber dosa, calon penghuni neraka terbanyak, dan urusan pahala untuk surga tergantung pada laki-laki (“Swarga nunut neraka katut”).
Pandangan budaya itu memvonis perempuan bahkan belum lahirpun. Sisa pemikiran feodal semacam itu tidak juga hilang dari masyarakat kita. Keberadan Kartini dengan pemikirannya yang kita baca kemudian, juga referensi-referensi perjuangan perempuan lainnya, ternyata belum mampu mengubah cara pandang masyarakat (termasuk perempuan sendiri). Mungkin karena memang budaya dan cara pandang feodalisme tidak hancur dan belum ada revolusi terhadapnya.
Sebab belum ada aksi massif merubah kesadaran kesetaraan laki-laki dan perempuan. Tidak ada gerakan perempuan yang berarti dalam relasi sosial-budaya dan politik. Seberapapun kita punya sejarah Kartini yang baru dibaca melalui penerbitan surat-suratnya di awal abad ke-20, ternyata perubahan kesadaran masyarakat itu hanya bisa dilakukan dengan gerakan. Nama Kartini memang mengilhami gerakan perempuan, tapi tidak semuanya.
Bila dibandingkan gerakan perempuan di barat di mana kekuatannya cukup massif dan berkelanjutan, baik dari perspektif radikal, liberal, maupun sosialis, tradisi gerakan perempuan di negara kita sempat terinterupsi dalam jangka waktu cukup lama. Terutama di era dominasi politik patriarki yang cukup Represif, yaitu Orde Baru.
Sebelum Orde Baru, kalau kita melihat era Pergerakan nasional, era Revolusi kemerdekaan, hingga era Orde Lama, tradisi gerakan perempuan cukup progresif dan variatif. Mulai munculnya organisasi perempuan yang masih “nebeng” dengan organisasi laki-laki, seperti Perempuan Mahardika-nya Boedi Oetomo, hingga munculnya kemandirian organisasi perempuan. Kemudian adanya Kongres Perempuan pada Desember 1928. Di pertengahan tahun 1920-an, wacana gerakan perempuan yang mencoba menjawab kontradiksi penjajahan dan penindasan sudah mulai muncul. Sejarah gerakan perempuan harus mencatat nama Sukaesih dan Munasiah dari Jawa Barat, yang merupakan aktivis yang pada akhirnya oleh Belanda dikirim ke kamp konsentrasi Belanda di Digul akibat aktivitas radikalnya dalam pemberontakan 1926/1927 yang dilakukan kaum kiri. Munasiah, misalnya dalam sebuah kongres perempuan di Semarang menyatakan bahwa: “Wanita itu mataharinya rumah tangga, itu dulu! Tapi sekarang perempuan jadi alatnya kapitalis. Padahal sejak zaman Mojopahit, wanita sudah berjuang. Sekarang adanya pelacur, itu bukan salahnya wanita. Tapi salahnya kapitalisme dan imperialisme!”
Maka tak mengherankan jika pada Kongres Perempuan 1928 adalah momentum yang luar biasa karena aktivis perempuan membicarakan bagaimana kedudukan perempuan di masyarakat. Isu TOLAK POLIGAMI adalah salah satunya. Selain isu bagaimana perempuan harus mendapatkan pendidikan dan pekerjaan. Domestifikasi perempuan mulai disadari sebagai kondisi yang menyempitkan peran perempuan.
Tahun 1930-an, sekitar satu dekade sebelum Indonesia Merdeka, ideologi gerakan perempuan semakin maju dan pengorganisirannya juga semakin massif. Yang layak dicatat adalah organisasi bernama “Isteri Sedar” (yang artinya ‘Perempuan Sadar’) pada tahun 1932. Bacaan organisasi ini terhadap masalah yang dihadapi perempuan amat progresif. Karena mereka menghubungkan nasib perempuan dengan kontradiksi ekonomi-politik masyarakat kapitalis dan kolonialisme.
Soewarni Pringgodigdo, ketua Isteri Sedar, menjelaskan sudut pandang organisasinya dengan mengatakan: “Di seluruh dunia, sembilan puluh persen dari penduduk adalah kelas pekerja. Di semua negara, nasib anak-anak kelas pekerja yang miskin sangat menyedihkan, tetapi di negara-negara yang tidak mempunyai kebebasan anak-anak bukan hanya kekurangan makanan dan pakaian, juga pendidikan”. Dalam Kongres itu Soekarno memberikan pidato yang bertema ”Gerakan Politik dan Emansipasi Perempuan”.
Belakangan Istri Sedar menjelma menjadi Gerwis, yang merupakan cikal bakal Gerwani nantinya. Tak mengherankan jika kemudian kesadaran akan penjajahan kapitalisme kolonial kian radikal, dengan jaman yang sudah mulai terbuka untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Hingga kemudian era semaraknya organisasi perempuan terinterupsi selama penjajahan Jepang yang cukup represif. Kisah tentang perempuan kita sebagai budak seks pasukan Jepang menjelaskan ketertindasan yang cukup parah, diiringi dengan terkonsolidasinya kaum perempuan untuk mendukung fasisme Jepang. Sedangkan gerakan progresif perempuan tiarap tak bisa berekspresi lebih jauh. Satu-satunya organisasi yang diijinkan berdiri adalam Fujinkai (perkumpulan perempuan). Programnya sama sekali tidak boleh politik, tetapi hanya bersifat sosial seperti memerangi buta huruf, menjalankan dapur umum, dan kerja-kerja sosial lainnya.
Setelah era kemerdekaan. Keinginan masyarakat untuk berorganisasi luar biasa, demikian juga gerakan perempuan. Tetapi pascadeklarasi Kemerdekaan 1945, upaya asing untuk merebut kembali KNRI juga membawa dinamika baru bagi gerakan kaum perempuan. Dalam kursus-kursus politik untuk perempuan yang kemudian bisa kita baca dari buku “Sarinah”, Bung Karno pada tahun 1945 bahkan mengatakan: “Soal perempuan adalah sama tuanya dengan masyarakat; soal perempuan adalah sama tuanya dengan kemanusiaan. Atau lebih tegas: soal laki-laki-perempuan adalah sama tuanya dengan kemanusiaan. Sejak manusia hidup dalam gua-gua dan rimba-rimba dan belum mengenal rumah, sejak “zaman Adam dan Hawa”, kemanusiaan itu pincang, terganggu soal ini”.
Kaum perempuanpun tak sungkan untuk berjuang di jalur laskar. Kelompok perjuangan yang pertama adalah Lasjkar Wanita Indonesia atau Lasjwi. Kongres Perempuan di akhir tahun 1945 dan tahun 1946 tampaknya semakin membuat isu perempuan semakin maju. Selain dorongan untuk bergabung dalam perjuangan merebut kembali kemerdekaan, juga ada isu kesteraan, misalnya: upah yang sama dan hak yang sama atas kerja, perbaikan hukum perkawinan, pendidikan untuk kaum perempuan, dan lain-lain.
Agresi militer Belanda sejak kemerdekaan hingga tahun 1950 cukup memporak-porandakan gerakan perempuan, terutama dalam hal konsolidasi. Reaksi terhadap serangan kolonialis dan sulitnya konsolidasi ini berefek pada polarisasi ideologis gerakan perempuan. Kongres Wanita Indonesia (Kowani) yang dibentuk pada tahun 1946 untuk menunjang perjuangan kemerdekaan, bubar.
Pada tahun 1949, ada pertemuan antar aktivis perempuan, tapi namanya Permusjawaratan wanita Indonesia, bukan Kongres. Konferensi yang berlangsung di Yogyakarta dari 26 Agustus hingga 2 September 1949 di bawah kepemimpinan Nyonya Soepeni ini dihadiri para delegasi dari seluruh daerah yang bebas atau masih diduduki Belanda, dan 82 organisasi perempuan dari seluruh pulau-pulau besar Indonesia.
Sesudah tahun 1950 persatuan gerakan perempuan Indonesia, yang telah dibangun pada hari-hari perjuangan nasional dahulu, berangsur-angsur hancur. Dalam artian, penyatuan gerakan antar organisasi jauh dari era sebelumnya. Badan organisasi perempuan diakui bukan lagi hanya satu. Kongres Wanita Indonesia yang merupakan salah satu upaya untuk memfasilitasi kontak di antara organisasi perempuan pun tidak memiliki otoritas melakukan keputusan sendiri.
Gerakan perempuan memang memasuki era baru yang bernama Demokrasi Liberal, di mana masing-masing kekuatan politik berusaha membangun organisasi, termasuk partai politik. Kekuatan kaum perempuan tampaknya juga banyak yang masuk berbagai macam partai politik. Masing-masing organisasi perempuan tampaknya juga terpolarisasi dalam perbedaan ideologi, dan berbeda dalam menyikapi situasi politik.
Misalnya sikap terhadap Poligami yang dilakukan Presiden Soekarno ketika menikahi Hartini pada tahun 1954. Perwari (Persatuan Wanita Indonesia) menolak sikap Soekarno. Bahkan Nani Suwondo dari Perwari mendukung Fatmawati untuk meninggalkan Istana. Sedangkan Gerwani (yang awalnya Wanita Sedar dan Gerwis) tidak memprotes perkawinan Soekarno dengan Hartini. Bagi sebagian kalangan yang menolak sikap Soekarno dan menyayangkan sikap Gerwani punya alasan bahwa isu anti-Poligami sudah muncul sejak Kongres 1928.
Sedang alasan untuk membenarkan sikap Gerwani untuk tidak menolak poligami Soekarno tampaknya yang akan membuat Gerwani sebagai organisasi yang nantinya berkembang cukup pesat dan kuat, mengakar ke bawah. Isu Poligami dianggap sebagai isu elit, sedangkan Gerwani lebih fokus untuk mengusung isu pemberdayaan ke bawah. Isu kerakyatan yang diusung oleh gerakan perempuan progresif ini membuatnya semakin populis.
Peran Gerwani berakhir pada tahun 1965. Demonisasi oleh Orde Baru terhadap gerakan perempuan tersebut dilakukan dengan penuh rekayasa, misal tentang kejadian di lubang buaya dan berbagai rekayasa ide dan informasi untuk menghasilkan justifikasi tentang depolitisasi terhadap perempuan di era yang baru dengan kekuasaan militer sebagai penyokong kekuasaan politik yang amat patriarkis.
Sejak saat itu gerakan perempuan mati, yang ada adalah domestifikasi massif terhadap peran perempuan melalui ideologi Ibuisme Negara. Negara mematikan organisasi perempuan yang merakyat dengan tujuan stabilitas nasional dan depolitisasi agar rakyat tak mengontrol kekuasaan. Kaum perempuan pada tataran negara hanya diberikan wadah berupa organisasi seperti “Dharma Wanita”.
Istilah “Dharma” artinya pengabdian. Kaum wanita harus mengabdi pada suami dan keluarga saja, ini tampaknya yang diinginkan. Negara mengondisikan di mana istri menteri akan menjadi ketua Dharma Wanita dalam level menteri. Pengkondisian itu dibuat pada level desa. Seakan perempuan akan berharga karena posisi pentingnya suami, bukan karena prestasi dan perannya sendiri. Bahkan perempuan akhirnya tidak punya namanya sendiri, si mbak Maya yang istri camat yang bernama Joko, akan dipanggil Bu Joko. Karena perempuan itu adalah abdi suaminya.
Sebagaimana diuraikan dalam buku mbak Julia Suryakusuma “Ibuisme Negara” (2011), negara Orde Baru menekan perempuan dengan Panca Dharma Wanita yang berisi butir-butir pokok untuk menjadi perempuan idealisme patriarkis. Sedangkan bagi wanita desa, ada PKK. Organisasi ini adalah lembaga perantara utama antara negara dan wanita desa bahwa di negara Orde baru. Konsepnya jelas mendefinisikan bahwa perempuan itu ya istri yang harus melayani suami, dan perannya pada kemanusiaan tak boleh keluar bingkai domestifikasi.
Intinya, Orde Baru adalah desain patriarki lewat negara dan disokong oleh tatanan militeritik untuk menekan gerakan perempuan dan rakyat seperti era sebelumnya. Setelah reformasi terjadi dan Soeharto turun dari jabatan, apakah struktur patriarki warisan Orde Baru ini sudah hilang? Sama sekali belum.***
* Penulis adalah pegiat literasi dan penulis buku.