Pamekasan, (Media Madura) – Badan Silaturrahmi Ulama Pesantren Madura (BASSRA), Jawa Timur menyuarakan perbaikan nasib petani garam yang selama ini terpuruk akibat harga jual petani garam anjlok dan meminta pemerintah memberlakukan secara efektif Undang-Undang Nomor 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dan Petambak Garam.
“Karena sejak UU tersebut berlaku secara sah menurut hukum sepertinya mandul terkait komoditas garam,” kata Ketua BASSRA KH Muhammad Rofi’i Baidhawi saat menyampaikan sambutan dalam acara diskusi bersama Forum Petani Garam Madura di Pondok Pesantren Al-Hamidy, Banyuanyar, Pamekasan, Minggu (3/10/2021).
Dalam diskusi bertema “Membedah Keterpurukan Nasib Petani Garam dan Anjloknya Harga Garam Rakyat” oleh perwakilan petani di empat kabupaten di Pulau Madura yang difasilitasi oleh ulama dari empat kabupaten itu, sebagai upaya untuk menggugah komitmen pemerintah agar lebih berpihak kepada petani garam.
Menurut Kiai Rofi’i, bagi warga Madura, garam bukan hanya pekerjaan, akan tetapi sudah menjadi ikon budaya masyarakat di empat kabupaten itu, sehingga Madura juga dikenal sebagai “Pulau Garam”.
Hanya saja, nasih petani garam selama ini, kurang diuntungkan, karena beberapa hal. Selain banyaknya garam impor yang masuk, regulasi yang telah diberlakukan oleh pemerintah selama ini, cenderung kurang berpihak kepada kepentingan petani garam.
Oleh karena itu, BASSRA merasa terpanggil untuk memfasilitasi dan menyuarakan aspirasi petani garam melalui forum seperti ini.
“Hasil dari pertemuan ini, nantinya akan kami sampaikan kepada pemerintah melalui Wakil Gubernur Jawa Timur yang juga hadir pada kesempatan ini,” ujar Kiai Rofi’i.
Pada forum diskusi yang dipandu oleh Mantan Wakil Bupati Bangkalan KH Syafik Rofi’e itu, forum terlebih dahulu memaparkan pokok-pokok permasalah tentang tata niaga pergaraman nasional, mulai dari adanya regulasi yang tidak saling mendukung antar kementerian, data base hasil produksi garam yang belum singkron, belum adanya ketentuan harga pokok pembelian (HPP), serta belum adanya kebijakan buffer stock untuk dapat menjaga ketersediaan stock garam bahan baku nasional dan menjaga stabilitas harga garam, baik di tingkat bahan baku maupun garam olahan.
Dari bergai pokok permasalahan tata niaga pergaraman nasional yang dipaparkan itu, forum selanjutnya mengurai dalam bentuk tawaran solusi.
Diantaranya, pertama, meminta pemerintah segera mewujudkan data based garam nasional yang tersinkronisasi dan terintegrasi, sehingga neraca garam nasional dapat terjaga akuntabilitasnya sebagai acuan tata kelola pergaraman nasional.
Kedua, mengembalikan ketentuan sebagaimana tertuan dalam UU Nomor 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dan Petambak Garam, karena sejak UU tersebut berlaku secara sah menurut hukum sepertinya mandul terkait komoditas garam. Dalam pandangan forum, sejauh ini yang berlaku efektif peraturan-peraturan setingkat Menteri dan Dirjen terkait, khususnya di lingkup hilir.
Ketiga, garam sebagai komoditi strategis harus dimasukkan sebagai barang kebutuhan pokok dan barang penting yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 59 tahun 2020 karena masih ada celah untuk merevisi Perpres tersebut di tingkat rapat terbatas (ratas) kabinet terkait sesuai dengan Pasal 2 Ayat (7) Perpres dimaksud.
“Keempat, bila butir-3 tersebut di atas dapat diwujudkan, maka Kementerian Perdagangan dapat menentukan HPP (flooring price) garam bahan baku yang tentunya harus serap informasi terlebih dahulu dengan stake holders terkait hingga menemukan titik kelayakan harga khususnya bagi produsen garam bahan baku lokal,” kata Ketua Forum Petani Garam Madura, Ubaid AK.
Kelima, forum menilai, pembagian klaster garam bahan baku yang diatur Kementerian Perindustrian harus direvisi atas dasar kelayakan dan pertimbangan logis sehingga klaster itu hanya diterapkan untuk garam olahan setelah melalui proses pengolahan oleh pabrikan-pabrikan pengolah garam, termasuk juga pemberlakuan persyaratan SNI.
Forum ini juga merekomendasikan, klatur kelompok industri pangan harus dikembalikan lagi pada klatur semula, yaitu kebutuhan untuk konsumsi dengan kebijakan Kementerian Perindustrian, sehingga pasokannya bisa dari garam bahan baku lokal.
Sementara, khusus peraturan yang mengatur importasi garam oleh Kementerian Perdagangan harus total direvisi berdasarkan data based dan neraca garam yang sudah terintegrasi dan accountable, termasuk kajian ulang lembaga importir yaitu Importir Produsen (IP) dan Importir Terdaftar (IT) berikut persyaratannya dan sanksi hukum yang selama ini dinilai sangat lemah.
Kedelapan, forum meminta agar lembaga buffer stock harus segera dibentuk yang tata kelolamya mengacu pada UU Nomor 7 tahun 2016 agar ketersediaan stok nasional garam bahan baku lebih terjamin dan terjaganya stabilitas harga, baik di tingkat garam bahan baku dan garam olahan.
Menanggapi usulan forum itu, Wakil Guburnur Jatim Elistianto Dardak menyatakan, akan menyampaikannya ke Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa. Ia juga mengapresiasi komitmen para ulama BASSRA atas kepeduliannya terhadap nasib petani garam.
Bahkan, Wagub menyarakan, agar ada pertemuan lanjutan di Universitas Trunojoyo Madura (UTM) untuk membahas persoalan sengkarut tata niaga garam itu, demi kesejahteraan petani garam di Pulau Madura tersebut.
Hadir juga dalam acara itu, Direktur Utama PT Garam Persero Achmad Ardianto, serta jajaran direksi PT Garam lain, dan Komisaris PT Garam, Safi, serta Rektor UTM Bangkalan Dr Moh Syarif. (Rilis/BASSRA)