Oleh : Zulfatin Nuroniyah
*) Penulis adalah mahasiswa IAIN Madura, Fakultas Tarbiyah, Prodi Pendidikan Bahasa Arab.
Ramadan tahun ini dihadapkan pada situasi yang tidak sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Situasi darurat pandemi menuntut melakukan penyesuaian, termasuk penyesuaian terhadap kebijakan social distancing yang dikeluarkan pemerintah beberapa pekan lalu. Kebijakan tersebut cukup menyulitkan karena menuntut kebiasaan baru yang tidak seperti biasanya, sehingga rasa cemas, panik, dan bingung tidak dapat dihindarkan. Namun apapun alasannya social distancing mesti diperhatikan untuk kemashlahatan orang banyak, yaitu untuk memutus mata rantai penyebaran pandemi covid -19 tersebut.
Mengeluhkan adalah hal manusia, namun jika hanya mengeluh tentu tidak dapat merubah keadaan. Butuh langkah kongkrit untuk membantu mengurangi persebaran pandemi, salah satunya dengan tetap menjalankan puasa, memaknai kembali social distancing (kaitannya dengan puasa) serta mematuhi aturan kerjanya.
Menunaikan ibadah puasa dalam situasi seperti ini tentu memiliki tantangan tersendiri, sebab satu sisi harus tetap melaksanakan puasa dan disisi lain mesti menyadari situasi pandemic dan memperhatikan kebijakan social distancing. Karena pada prinsip di atas, puasa dan social distancing diposisikan sebagai dua entitas yang terpisah, maka tentu itu bukan perkara mudah. Sehingga dibutuhkan struktur pikiran yang baru dalam mempersepsikan dan menghadapi situasi ini, setidaknya orang-orang tetap melakukan puasa namun tidak terlalu menghawatirkan (beban psikologis) keadaan.
Ada satu pendekatan dalam ilmu konseling yang dikenal dengan restrukturasi kognitif (cognitive restructuring) yaitu teknik yang digunakan untuk merubah persepsi seseorang terhadap suatu hal supaya terjadi keharmonisan. Bagaimana jika pendekatan tersebut digunakan sebagai langkah dasar dalam merestrukturasi pikiran kaitannya dengan pemaknaan terhadap peraturan social distancing dalam konteks ramadhan. Harapannya formula tersebut akan melahirkan cara pandang yang baru, menumbuhkan semangat menjalankan puasa, serta menumbuhkan kesadaran untuk mematuhi peraturan social distancing untuk kepentingan kebaikan diri dan orang lain serta sebagai sarana meneguhkan kemaslahatan dan secara khusus untuk kemurnian ibadah puasa.
Telah banyak penjelasan terkait transformasi makna puasa, diantaranya puasa mendidik kepedulian sosial, mengajarkan kejujuran, kesederhanaan, dan introspeksi diri. Kemudian dalam situasi pandemi, tentu puasa kali ini memiliki tantangan berbeda dan melahirkan pemaknaan yang juga berbeda. Satu sisi social distancing terasa mempersulit karena pembatasan tersebut menghambat berbagai aktivitas namun di sisi lain pembatasan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai ajang memaksimalkan puasa yang sedang dilaksanakan. Berikut reinterpretasi social distancing di tengah pandemi.
Social distancing dan bahkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tentu membatasi aktivitas sosial sehingga tidak leluasa berjalan kemana-kama atau bertemu siapa saja. Kondisi tersebut tentu memberatkan bahkan menjadi stresor bagi sebagian masyarakat tertentu. Namun jika mau dimaknai lebih dalam pembatasan tersebut secara tidak langsung memberikan ruang lebih luas untuk lebih sering di rumah, lebih sering sendiri sehingga lebih dekat lagi dengan diri sendiri dan keluarga. Terlebih kepada yang berpuasa, social distancing memberikan banyak kesempatan untuk lebih fokus menjalankan puasa, menikmati puasa dan mencari makna baru atas puasa yang dlakukan di tengah musim pandemic. Sehingga akan merasakan kenikmatan-kenikmatan berpuasa yang tidak dirasakan di bulan Ramadhan sebelumnya.
Selain itu, akibat social distance tentu orang-orang tidak bebas beraktivitas sehingga tidak dapat menyaksikan dan mendengarkan sesuatu seleluasa sebelumnya. Dengan demikian yang berpuasa dapat semakin terbantu untuk mengurangi atau menghindar dari menyaksikan dan mendengar kemudaratan atau sesuatu yang dapat mengurangi keutamaan puasa.
Kemudian social distancing juga membatasi kebebasan berkomunikasi karena pembatasan sosial tentu mempersulit untuk bersinggungan dengan yang lain. Situasi tersebut sangat membantu meneguhkan puasa dan mengantarkan pada kualitas puasa yang sebenarnya, yaitu puasa yang tidak hanya menahan untuk tidak makan tapi juga menahan diri dari berkata-kata atau membicarakan sesuatu yang tidak berguna.
Social distance dimaksudkan untuk keselamatan manusia karena pembatasan sosial akan mencegah merebaknya penularan virus tersebut. Sehingga yang terlanjur terpapar dapat tertangani dengan cepat dan meminimalisir jatuhnya korban selanjutnya. Sebagaimana pernyataan Said Aqil Siraj (Ketua Umum PBNU) bahwa social distancing merupakan bagian dari sunnatullah karena melakukan sesuatu untuk menghindari kemudaratan dan menjaga jarak sesuai dengan ajaran agama yaitu sikap hati-hati untuk menjaga keselamatan diri sendiri dan orang lain.
Pada akhirnya reinterpretasi terhadap social distancing akibat situasi darurat pandemi tidak memunculkan kepanikan atau reaksi-reaksi negatif lain. Sehingga begi semua masyarakat khususnya yang sedang menunaikan ibadah puasa, situasi ini menjadi kesempatan besar untuk semakin meneguhkan puasanya, semakin memaknai puasa yang sebenarnya, yang tidak hanya menahan dari makan dan minum tapi juga menahan diri dari melihat, mendengar, dan berkata sesuatu yang justru dapat menghilangkan keutamaan puasa.(*)